22 Juni 2008

HERMENEUTIKA DAN TEOLOGI INTRATEKSTUAL

Hermeneutika intratekstual, yang kemudian dikembangkan oleh George Lindbeck menjadi teologi intratekstual, adalah salah satu sumbangsih pemikiran Hans Frei. Bagi Frei, dunia simbolik yang diciptakan oleh narasi-narasi Alkitabiah, secara hermeneutik, haruslah ditempatkan sebagai yang lebih utama dibandingkan dunia pengalaman inderawi. Dengan mengutip Eric Auerbach, Frei mengatakan, narasi Alkitab tidaklah sama dengan sebuah novel, misalnya epik Homerik yang hanya sekadar mengundang pembacanya untuk sejenak melupakan realitas mereka sendiri. Narasi Alkitab justru mencoba mengatasi realitas kita. Kita sebagai pembaca yang harus menyesuaikan hidup kita dengan dunia simbolik narasi itu, dan meresakan bahwa diri kita adalah bagian dari struktur sejarah universal dunia tersebut.[4] Karena itu, hermeneutika bukanlah suatu usaha menyesuaikan dunia simbolik Alkitab ke dalam kategori-kategori ekstratekstual. Dan juga bukan suatu usaha mencari sesuatu di luar atau di atas dunia linguistik tersebut, apakah itu pengalaman religius atau kebenaran-kebenaran historis, tetapi suatu usaha mendeskripsikan dunia simbolik yang diciptakan oleh narasi- narasi Alkitab itu, yang pada gilirannya, menjadi semacam kerangka interpretif untuk melihat dunia inderawi kita. Narasi-narasi Alkitab dianggap mampu mengkonstruksi dan membentuk suatu dunia nyata yang melaluinya komunitas Kristen melihat realitas inderawi. Jadi dalam pengertian Frei, narasi Alkitab mempunyai keutamaan dalam arti ia menjadi semacam kategori hermeneutik terhadap Alkitab.

Secara meyakinkan Frei berargumentasi mengenai pembacaan realistik dan hermeneutika intratekstual ini dalam bukunya, The Eclipse of Biblical Narrative.[5] Menurut Frei, dalam sejarah gereja, sampai abad ke 17, para pengkhotbah dan penafsir senantiasa melihat ke depan ke dunia nyata yang dibentuk oleh kisah-kisah Alkitab. Satu-satunya dunia yang nyata adalah dunia yang digambarkan oleh narasi Alkitab. Dunia nyata ini pula yang memberi makna dan realitas bagi kehidupan Kristen. Tetapi, demikian Frei berargumentasi, sejak abad ke 18, yakni zaman yang berada di bawah pengaruh Era Pencerahan, terjadi suatu pembalikan hermeneutik yang radikal. Penafsiran menjadi semata-mata suatu usaha menyesuaikan cerita Alkitab ke dalam suatu dunia lain yang mempunyai kisahnya sendiri. Realitas pembaca, yakni dunia modern, dianggap sebagai realitas yang utama yang kepadanya dunia Alkitab harus menyesuaikan diri. William Placher mengatakan bahwa hermeneutika demikian memandang narasi-narasi Alkitab dapat dianggap real hanya bila cerita-cerita itu dapat disesuaikan dengan kerangka pemikiran orang-orang modern.[6]

Dalam kerangka pemikiran ini, narasi Alkitab hanya dapat dimengerti bila dimasukkan ke dalam dua kategori: narasi itu adalah sejarah, atau narasi itu mengandung pelajaran-pelajaran moral. Metode-metode historis-kritis yang baru, digunakan untuk menyeleksi narasi-narasi mana yang historis yang dapat melewati standar metode tersebut. Bila hal ini ternyata sulit dilakukan, maka narasi Alkitab, seperti yang juga dikatakan oleh Placher, akhirnya semata-mata dianggap sebagai pembawa rujukan-rujukan idealistik dengan mengajarkan hal-hal moral, dengan memberikan lambang-lambang pengalaman rohani, atau menyajikan potensi-potensi eksistensi manusia.[7] Bagi Frei, apa pun idealismenya, apakah mencari kebenaran historis atau kebenaran moralistik, dengan mengabaikan karakter naratif dari Alkitab, hermeneutika modern telah merusak makna Alkitab baik melalui reinterpretasi maupun revisi.[8] Karena itu, dia mengajukan pembacaan cara ketiga terhadap narasi Alkitab: Baca kisah-kisah itu sebagai kisah-kisah yang tidak punya arti lain selain apa yang ingin dikatakan oleh kisah-kisah itu. Secara hermeneutik, pembacaan demikian selaras dengan sifat naratif Alkitab, di mana tindakan hermeneutik dilakukan adalah semata-mata untuk mendeskripsikan dunia Alkitab sebagai,

Suatu dunia dengan integritas linguistiknya sendiri, sama halnya dengan sebuah karya kesusasteraan yang mempunyai suatu dunia yang konsisten dalam standarnya sendiri, suatu dunia yang hanya dapat kita peroleh melalui melakoninya. Tetapi berbeda dengan dunia lakon lainnya, dunia narasi Alkitab adalah suatu dunia bersama di mana kita semua bisa hidup, bergerak, dan berada.[9]

Bila hermeneutika intratekstual diberi pengertian sebagai usaha mendeskripsi dunia simbolik Alkitab yang terbentuk melalui narasi- narasi Alkitab, maka teologi intratekstual adalah suatu kelanjutan teologis dari hermeneutika tersebut. George Lindbeck mengatakan, "Dunia Alkitab mampu menyerap alam semesta ini. Dunia Alkitab ini memberikan suatu kerangka interpretif yang melaluinya orang-orang Kristen menjalani kehidupannya dan memahami realitas."[10] Karena itu, dalam satu kalimat yang kemudian menjadi sangat terkenal, dia mengartikan teologi intratekstual sebagai teologi yang "redescribes reality within the scriptural framework rather than translating Scripture into extrascriptural categories. It is the text, so to speak, which absorbs the world, rather than the world the text."[11]

Hermeneutika maupun teologi dalam artian intratekstual jelas sangat mementingkan teks sebagai suatu sistem semiotik. Tidak heran kalau teolog-teolog pascaliberal umumnya mengambil posisi Karl Barth yang memandang narasi-narasi Alkitab sebagai "the strange new world within the Bible." Makna religius, bagi Lindbeck, tidak ditemukan di luar teks atau di luar sistem semiotik. Makna selalu bersifat imanen di dalam teks atau di dalam sistem semiotik tersebut.[12] Dalam artian ini, teologi sangat bersifat deskriptif, yakni deskripsi teologis terhadap apa yang operatif di dalam sistem semiotik. Hermeneutika, dalam pola ini, jelas telah bergeser dari pencarian historical truth, atau authorial intention, atau authorial motivation kepada final product, yakni kepada teks itu sendiri.

Perkembangan ini jelas bukan merupakan sesuatu yang khas dalam teologi pascaliberal. Hermeneutika umum telah pula menggeser fokus utama mereka di dalam proses interpretasi, dari author ke text (dan bahkan kemudian ke reader). Fokus kepada teks ini, pada waktu yang bersamaan juga dipopulerkan oleh Brevard S. Childs, seorang sarjana Alkitab, yang juga adalah rekan Frei dan Lindbeck di Yale University, yang menekankan pendekatan kanonikal dalam hermeneutika Alkitabiah. Perkembangan ini menarik dan disambut cukup gembira oleh kalangan Injili. Alkitab tidak lagi dilihat sebagai ceceran-ceceran pengalaman religius yang kebetulan terkompilasikan dalam satu kitab. Alkitab kini dilihat dalam posisinya sebagai suatu final product, suatu kanon, dan suatu teks konstitutif dan normatif yang utuh.

Tidak ada komentar: