24 Juni 2008

TEKS DAN KEBENARAN ONTOLOGIS

Beberapa komentar dapat diajukan kepada model hermeneutika intratekstual ini. Hermeneutika yang seharusnya teologis, telah menjadi hermeneutika yang terlalu formal. Misalnya, dalam hal tekstualitas, pandangan kaum pascaliberal, khususnya dalam Lindbeck, teks itu telah menjadi suatu sistem tertutup yang diisi hanya oleh penanda (signifiers). Pertanyaan-pertanyaan penting mengenai historisitas, referensi, dan ontologi dieksklusikan karena dianggap, pertama, tidak sesuai dengan karakter naratif suatu kisah realistik; dan kedua, tidak mencerminkan kesetiaan teologis yang bersifat intratekstual. Teks menjadi self-referential dan otonom.[13] Dalam hal ini, beberapa teolog pascaliberal, walaupun mengakui diri dan diakui sebagai pelanjut-pelanjut dari konsep Barth mengenai tekstualitas, sesungguhnya hanya menerima secara parsial konfirmasi Barth terhadap "the strange new world within the Bible" tersebut.

Salah satu kritik tajam untuk Lindbeck datang dari sejawatnya di dalam kubu pascaliberalisme, yakni Ronald Thiemann. Dia mengatakan Lindbeck terlalu berfokus pada teks dan tekstualitas dalam artian formal, dan terlalu sedikit berbicara mengenai hal-hal teologis, bahkan hampir tidak berbicara tentang Allah. Karena itu, menurut Thiemann, bahaya dari pendekatan fokus hermeneutik demikian adalah pembicaraan tentang teks menggantikan wacana tentang Allah. Teks berdiri di tempat di mana seharusnya Allah yang berdiri.[14] Hal ini dapat terjadi pada program teologi dan hermeneutika Lindbeck karena kurangnya perhatian pada konsep wahyu atau penyataan melalui teks. Barth memang menekankan tekstualitas, tetapi, kembali mengutip Thiemann, tanpa doktrin penyataan, suatu doktrin yang sangat sentral dalam Barth, segala wacana tentang tekstualitas, intratekstualitas, dan self-interpreting texts menjadi mubazir dan kehilangan kekuatan teologisnya.[15] Bahkan Brevard S. Childs, yang sangat mengutamakan tekstualitas, mengeritik Lindbeck pada butir penting tersebut. Dia mengatakan,

Lindbeck dengan yakin mengutip frase Karl Barth tentang "the strange new world within the Bible," seolah-olah Barth sedang membayangkan sebuah komunitas iman yang ditarik masuk ke dalam semesta ciptaan Alkitab. Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan maksud Barth. Bagi Barth, yang terutama, Alkitab menyaksikan sesuatu realitas di luar teks, yakni Allah, dan melalui teks Alkitab, pembaca dikonformasikan dengan Firman Allah yang adalah Yesus Kristus.[16]

Yang penting dari kritik ini adalah bahwa teks, dalam hal ini teks Alkitab, bukanlah suatu entitas tertutup yang bersifat self- referential dan otonom. Karena itu realitas tidak dapat direduksi menjadi teks. Kritik yang sama dapat ditujukan kepada kalangan penganut konsep wahyu proposisional yang menghadapi bahaya mereduksi wahyu ilahi menjadi semata-mata pernyataan-pernyataan proposisional. Keyakinan bahwa teks Alkitab adalah firman Tuhan tidak mengurangi fakta bahwa teks itu tidak menunjuk kepada dirinya sendiri. Teks itu mendapatkan wibawa dan otoritas bukan semata-mata (dan terutama) karena teks tersebut dapat membangun suatu dunia simbolik yang koheren. Dan bukan pula karena ia diterima sebagai suatu teks normatif oleh satu komunitas. Kebenaran dari teks (the truth of statement) tergantung sepenuhnya pada referensinya, yakni kesetiaan dan ketepatan dalam menunjuk kepada suatu realitas ontologis (the truth of being). Thomas Torrance mengemukakan hal ini dengan cara berikut:

Pernyataan-pernyataan Alkitabiah adalah benar bukan karena pernyataan-pernyataan itu menangkap kebenaran di dalam diri mereka sendiri, tetapi karena mereka menunjuk kepada kebenaran di luar mereka.... Pernyataan-pernyataan itu benar dalam artian mereka secara setia menunjuk kepada kebenaran - karena itulah, pernyataan- pernyataan Alkitabiah perlu dimengerti dan ditafsirkan menurut realitas yang mereka tunjuk, bukan sebaliknya."

Penulis yang sama, dalam buku yang lain, pernah menulis sebuah kalimat (yang rupanya agak sulit diterjemahkan tanpa kehilangan kekuatan dan keindahan kalimat tersebut) tentang kemustahilan mereduksi being ke dalam pernyataan: "No more than you can picture in a picture how a picture pictures what it pictures, without reducing everything to a picture, can you state in statements how statements are related to being without reducing everything to statements."[18]

Pada dasarnya, hermeneutika intratekstual yang dikembangkan oleh pascaliberalisme menggeser terlalu jauh fokus teologis sehingga kecenderungan menjadi hermeneutika formalistik tidak dapat dihindarkan. Bila referensi, ontologi, dan juga historisitas menjadi unsur-unsur yang terlalaikan, maka tidak heran bila makna esensial tekstualitas menjadi hilang. Bila diterapkan dalam suatu komunitas yang nyata, yang berlandaskan hidup bukan hanya pada suatu sistem semiotik, tetapi juga pada keyakinan dan kebenaran, maka kecenderungan formalistik itu, agar dapat menjadi praktis, akhirnya menjadi pragmatis.

Hal ini jelas terlihat dalam program teologi pascaliberal dalam wacana mereka tentang kebenaran. Lindbeck, misalnya, pada satu pihak memang menekankan teks atau sistem semiotik, tetapi pada pihak lain, dalam proses hermeneutika, teks rupanya bukan suatu entitas objektif yang stabil. Ia tidak direlatifkan oleh objek referensinya (sebagaimana di dalam Barth atau Torrance), tetapi, dalam Lindbeck, ia direlatifkan oleh disposisi pembaca atau pengujar teks. Dalam memunculkan makna dan kebenaran, peranan pembaca menjadi sangat definitif. Dalam konteks inilah, teologi pascaliberal, dalam tradisi Wittgensteinian dan Austinian, menekankan kebenaran sebagai performative truth, atau apa yang Lindbeck sebut sebagai intrasystemic truth."[19] Wacana ini tidak lagi memandang kebenaran sebagai sesuatu yang substantif dan ontologis, tetapi lebih dalam pengertian kategorial dan pragmatik. Pernyataan Kristen dianggap benar bila pernyataan itu, pertama, koheren dengan kategori-kategori sistem semiotik atau the web of beliefs komunitas Kristen; dan kedua, koheren dengan the form of life atau total relevant context dari komunitas tersebut, yakni sistem praktis yang telah "menubuh" dalam komunitas itu. Pernyataan Christus est Dominus, misalnya, bagi Lindbeck adalah kalimat tanpa makna dan bahkan tanpa kebenaran bila diteriakkan oleh seorang prajurit perang salib ketika ia sedang menebas kepala musuhnya. Dalam konteks perbuatan tersebut, yang jelas kontradiktif dengan konsep ketuhanan Kristus dalam narasi kekristenan, pernyataan Christus est Dominus adalah salah. Secara kategorial, kalimat itu benar, tetapi secara intrasistemik, kalimat itu salah. Karena itu, secara ontologis, tidak mungkin pernyataan tersebut benar bila secara intrasistemik ia salah.[20] Dalam satu kalimat yang sangat kuat, dia mengatakan bahwa pernyataan religius "acquires the propositional truth of ontological correspondence only insofar as it is a performance, an act or deed, which helps create that correspondence."[21]

KESIMPULAN

Bila pengertian ini ditarik cukup ekstrim, maka pengertian intratekstualitas dalam pascaliberalisme menjadi semacam pembenaran bagi peran komunitas untuk memberi makna dan kebenaran pada teks. Hal ini dapat terjadi karena teks tidak mendapatkan kekuatan dari realitas atau ontologi yang ditunjuk. Teks memang tidak stabil dalam menangkap kebenaran, tetapi ia dapat menjadi penunjuk (signifier) kepada kebenaran (signified). Pada Barth, tidak ada kekuatiran apakah teks, yang adalah bahasa manusia, mampu berkorespondensi dengan ontologi yang bersifat ilahi. Korespondensi itu dapat tercipta bukan karena disposisi komunitas Kristen, tetapi karena wahyu ilahi di dalam Yesus Kristus.

Kategori wahyu inilah yang tidak terdapat dalam kebanyakan teolog pascaliberal, sehingga perbincangan tentang teks, pada satu pihak, menjadi sangat otonom dan self-referential, dan pada pihak lain, menjadi kehilangan kekuatan ontologis-teologis dan tergantikan oleh suatu nuansa yang dekat pada teologi natural. Bagi Barth kebenaran Injil tidak terkondisikan oleh kesaksian manusia. "It would be the truth even if it had no witness.... It is the truth even though its human witnesses fail. It does not live by Christians, but Christians by it."[22] Hermeneutika yang setia pada teologi Kristen bukan saja menerima teks Alkitab sebagai teks kanonikal yang mampu membentuk suatu sistem semiotik yang dapat menjadi "tata bahasa" bagi kehidupan religius Kristen, tetapi hermeneutika yang terutama memandang melalui teks tersebut kepada objek referensinya, dan menemukan Allah Tritunggal yang mewahyukan diri-Nya. Dengan Allah itulah, dan bukan dengan teks tentang Allah itu, kita dapat hidup, bergerak, dan berada.

Tidak ada komentar: